Pages

Minggu, 10 Agustus 2014

Mengenal Pedhophilia

Di tahun 2014 ini banyak kan kasus yang terjadi dengan menyebut-nyebut nama Pedophilia? Sebenarnya apa sih Pedophilia itu? Apakah seseorang yang tertarik secara seksual kepada anak-anak selalu dinamakan Pedophilia? Mending langsung dibaca aja yo. Cekidot!

Pedophilia digunakan untuk orang-orang yang secara eksklusif mempunyai ketertarikan seksual pada anak-anak pra-remaja yaitu di bawah usia 13 tahun. Termasuk di dalamnya adalah Nepiophilia atau Infantophlia yaitu yang tertarik pada bayi dan anak-anak kecil (toddlers) yang berusia 0-3 tahun. Di luar itu ada juga yang tertarik pada anak-anak yang berusia antara 11-14 tahun yang disebut Hebephilia.

Istilah Pedophilia mulai dikenal dalam dunia kedokteran sejak istilah itu diluncurkan oleh seorang psikiater dari Wina (Austria) bernama Dr. Richard von Krafft-Ebing (ia menggunakan istilah pedophilia erotica) dalam bukunya Psychopathia Sexualis (1886). Istilah ini kemudian makin populer di abad XX dan mulai masuk dalam berbagai kamus istilah kedokteran.
Pedophilia didefinisikan dalam sebuah kamus diagnosis penyakit sebagai "kecenderungan ketertarikan seksual (sexual preference) pada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan atau keduanya, biasanya yang berusia praremaja atau remaja awal". Dalam kerangka ini, seseorang yang berusia 16 tahun ke atas dianggap memenuhi definisi ini jika ia mempunyai kecenderungan ketertarikan seksual yang menetap atau yang dominan pada anak-anak praremaja yang paing sedikit lima tahun lebih muda.

Sementara itu kamus diagnostik yang lain menyatakan kriteria diganostik untuk kelainan pedophilia dimaksudkan untuk diterapkan pada orang-orang yang secara sukarela mengakui paraphilia (kelainan seksual) ini ataupun yang tidak mau mengakui bahwa ia mempunyai ketertarikan seksual pada anak-anak, terlepas dari bukti-bukti obyektif ke arah yang sebaliknya.

Kamus diagnostik tersebut juga menggariskan kriteria untuk digunakan dalam menegakkan diagnosis dari gangguan ini. Di antaranya adalah adanya khayalan yang merangsang secara seksual, perilaku atau dorongan untuk terlibat dalam aktivitas seksual tertentu dengan anak praremaja (sampai batas usia 13 tahun) selama enam bulan atau lebih, atau jika orang yang bersangkutan melakukan sesuatu berdasarkan dorongan-dorongan ini atau merasa tertekan sebagai akibat dari adanya perasaan-perasaan ini.

Kriteria ini juga mengindikasikan bahwa subyek harus berumur minimum 16 tahun dan anak atau anak-anak yang dikhayalkannya paling sedikit lima tahun lebih muda darinya, walaupun hubungan seksual yang terjadi antara anak berumur 12-13 tahun dengan seorang yang berusia remaja akhir perlu dikecualikan. Selanjutnya diagnosis lebih dikhususkan untuk jenis kelamin tertentu dari anak yang menjadi sasaran kalau tindakannya terbatas pada inses dan kalau ketertarikannya eksklusif atau non-eksklusif.
Pedophilia eksklusif sering dikatakan sebagai pedophilia sejati. Mereka ini tidak tertarik secara erotik pada orang-orang dewasa seusianya, dan hanya tertarik pada anak-anak praremaja, baik dalam khayalan atau kehadiran yang nyata atau kedua-duanya. Sedangkan pedophilia non-eksklusif, bisa tertarik atau terangsang atau kedua-duanya, baik pada anak-anak maupun orang dewasa.

Seperti sudah disebutkan di atas. Beberapa kamus diagnostik tidak mengharuskan adanya aktivitas seksual yang kasat mata terhadap anak praremaja. Jadi orang yang berkhayal seksual tentang anak praremaja sudah bisa didiagnosis sebagai pedophilia. Juga yang suka menunjukkan alat kelaminnya pada anak-anak (indicent exposure), suka mengintip anak-anak, atau suka menonton pornografi anak (voyeuristic) atau suka meraba-raba bagian kelamin anak-anak (frotteristic) dapat digolongkan sebagai pedophilia, walaupun selalu dianjurkan untuk memeriksanya dalam konteks sosial dan penilaian klinis lainnya sebelum menentukan diagnosis.

Perlu diperhatikan pula bahwa di antara penyandang pedophilia ada yang bertipe ego-systonic dan ego-dystonic. Tipe ego-systonic adalah yang mengakui dirinya sebagai pedophilia dan menerima keadaan dirinya apa adanya, sedangkan tipe ego-dystonic adalah yang tahu bahwa dirinya pedophilia, tetapi ingin mengubah kecenderungan ketertarikan seskualnya itu, terkait dengan berbagai masalah psikologis atau masalah perilaku atau gabungan kedua masalah itu yang ditimbulkan sebagai dampak 

dari kecenderungan ketertarikan seksual itu.
Pedophilia dapat digolongkan ke dalam child molester (penganiaya anak), tetapi tidak semua child molester adalah pedophilia. Seorang laki-laki yang melampiaskan nafsu seksualnya ke anak tirinya karena tidak mendapat pelayanan seksual dari isterinya, atau guru SD yang ditinggal isterinya dan melampiaskan hasratnya ke anak muridnya, tergolong child molester, tetapi bukan pedophilia.
Walaupun demikian, ditemukan banyak persamaan antara child molester dengan pedophilia. 

Kebanyakan pelaku adalah laki-laki, yang bisa heteroseksual, homoseksual, atau biseksual. Sebagian 
di antara mereka suka juga kepada lawan seks dewasa, tetapi lebih memilih anak-anak karena lebih tersedia dan lebih mudah diajak. Pelecehan seksual mungkin saja berlangsung hanya sekali dan hanya terbatas pada meraba-raba saja. Penetrasi jarang terjadi pada anak-anak kecil.

Usia pelaku bisa mulai dari belasan tahun sampai setengah baya. Korban kebanyakan adalah anak perempuan dan pelaku biasanya adalah kerabat, teman atau tetangga. Biasanya rumah menjadi sarana untuk terjadinya peristiwa penyaahgunaan seks pada anak. Jika korbannya laki-laki, penyalahgunaan seks bisa terjadi di uar rumah dan pelakunya bisa orang asing. Banyak di antara pelaku yang mengaku bahwa dia sendiri adalah korban penyalah gunaan seksual pada masa kanak-kanaknya (Murray, 2000).

Sejauh ini belum ada kesepakatan antar para pakar tentang apa sebetulnya itu pedophilia. Bahkan masih ada perbedaan pendapat yang cukup besar dan menimbulkan kontroversi.
Di bawah ini adalah beberapa pendapat yang sering dianggap sebagai teori atau pandangan yang banyak penganutnya.

Dr Krafft Ebing yang pertama kali meluncurkan istilah pedophilia erotica di kalangan kedokteran mengaku hanya bertemu dengan empat pasien pedophilia sepanjang karirnya dan dia menggambarkan pasien-pasiennya itu dengan tiga sifat yang serupa, yaitu pertama pedophilia itu karena bakat, bawaan, bukan karena pengaruh lingkungan. Kedua, ketertarikan subyek adalah lebih kepada anak-anak, ketimbang pada orang dewasa, dan ketiga, perilaku yang ditunjukkan bukan hubungan kelamin, melainkan hanya menyentuh-nyentuh dan memanipulasi anak untuk melakukan sesuatu. Dia juga menyatakan bahwa pedophilia perempuan sangat jarang dan begitu juga anak laki-laki yang disalahgunakan secara seksual oleh homoseksual. Tentu saja pendapatnya ini tidak sesuai dengan keadaan sekarang di mana sudah makin banyak terungkap kasus pedophilia homoseksual laki-laki.

Sigmund Freud, penemu aliran psikoanalisis, justru berbicara sedikit saja tentang pedophilia yang disampaikannnya dalam bukunya Three Essays on the theory of Sexuality (1905, diterjemahkan: 1962). Ia menyatakan bahwa pedophilia eksklusif sangat jarang. Dikatakannya bahwa anak-anak praremaja yang menjadi obyek pedophilia dijadikan sasaran oleh orang-orang lemah yang mencari obyek pengganti, atau oleh orang-orang yang naluri seksualnya tak terkendali dan ingin pemuasaan seketika padahal tidak bisa menemukan obyek yang lebih pantas.
Seorang pakar anatomi syaraf berbangsa Swiss, Auguste Forel, menulis tentang gejala ini dan menyebutnya sebagai Pederosis, atau "selera seksual pada anak-anak". Sama seperti Krafft Ebing, Forel membedakan antara pelecehan seksual yang sesekali dilakukan oleh penderita dementia (kemunduran fungsi otak karena usia atau penyakit) dan hasrat seksual yang eksklusif terhadap anak-anak. Tetapi ia tidak sependapat dengan Ebing bahwa pederosis eksklusif adalah bawaan sejak lahir dan tidak bisa diubah.

Sementara itu penelitian psikologi biasanya merujuk pada faktor perkembangan psikologi seseorang sejak masa kecilnya. Lussier dan kawan-kawan (2005), misalnya, menemukan bahwa kelainan dalam kecenderungan ketertarikan seksual pada anak-anak ada kaitannya dengan pengalaman masa anak-anaknya, yaitu jalur kekurangan psikososial (psychosocial defisit pathway) seperti kurang perhatian dari orang tua, hubungan yang tidak baik dengan ayah dll, akan terkait dengan gejala pedophilia yang tidak melibatkan kekerasan, sedangkan jalur pelecehan seksual pada masa anak (sexual pathway) akan terkait dengan gejala pedophilia dengan kekerasan.
Jika penelitian Lussier dkk adalah tentang pelaku pedophilia, penelitian Tidefors dkk (2011) adalah tentang korbannya, yaitu 45 remaja laki-laki di Swedia yang pernah mengalami pelecehan seksual. Sejumlah remaja laki-laki lain yang non-korban juga diteliti dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama sebagai kelompok pembanding.

Hasilnya adalah bahwa pada kelompok korban pedophilia sering dijumpai masalah keluarga dan tidak diabaikan dalam keluarga. Perceraian orangtua, hidup dalam lingkungan keluarga besar, atau di panti-panti asuhan juga lebih banyak terjadi pada kelompok korban. Skor mereka lebih tinggi ketimbang kelompok non-korban dalam tes-tes tentang kemarahan, depresi, dan perilaku yang mengganggu. Kelompok korban juga memperlihatkan keinginan untuk bisa tampil lebih positif, tetapi mereka tidak terbuka dalam hal-hal yang menyangkut seksualitas.

Tentunya, sebagaimana akan kita lihat dalam kasus-kasus di Indonesia, tidak semua temuan dari luar negeri itu sama dengan realita di Indonesia. Misalnya, hidup dalam lingkungan keluarga besar, bukan hal yang aneh atau jarang terjadi di Indonesia. Walaupun demikian, tetap masih ada persamaan antar korban di manapun di seluruh dunia, yaitu korban menunjukkan lebih banyak gejala gangguan seperti depresi, pemarah dsb

Sumber : Tribunnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar